NAMA
: Miftakhul Kirom
TUGAS
: Analisa Kestabilan Nasional
dari Segi Eksistensi Ormas Keagamaan
Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas resmi
diberlakukan oleh pemerintah, Rabu (12/7) pekan lalu. Alasan mereka menerbitkan
aturan ini adalah agar dapat membubarkan organisasi masyarakat yang
bertentangan dan ingin mengganti Pancasila, atau dalam konteks yang lebih
sempit, Perppu ini dianggap sebagai solusi paling tepat untuk mempersempit
gerakan fundamentalis. Tapi, benarkah begitu?
Dalam aturan tersebut,
Pasal 59 ayat (3) huruf b, disebutkan bahwa suatu organisasi masyarakat
dilarang untuk “melakukan penyalah gunaan, penistaan, atau penodaan terhadap
agama yang dianut di Indonesia.” Argumen bahwa Perppu ini dapat mempersempit
fundamentalisme terpatahkan sendiri lewat pasal ini. Melalui pasal inilah ormas
keagamaan tertentu dapat memberangus kelompok agama lain yang tidak sama dengan
mereka atas dalil penodaan/penistaan agama. Dengan kata lain, aturan ini
sebetulnya justru jadi senjata baru bagi ormas fundamental dan sekaligus jadi
momok baru bagi kelompok minoritas manapun.
Selain jadi ancaman
serius bagi ormas keagamaan, Perppu ini juga sama bahayanya bagi eksistensi
ormas apapun, sepanjang ia ditetapkan berbahaya oleh Pemerintah. Pasalnya
melalui Perppu ini mekanisme pengadilan untuk melakukan pembelaan dihapus dan
otoritas untuk menentukan suatu kelompok berbahaya atau tidak hanya berada di
tangan pemerintah.
Istilah-istilah yang
ada di dalam Perppu, semisal “penodaan” “separatisme” “bertentangan dengan
Pancasila” dan-lain-lain, akan sangat tergantung dari kepentingan apa yang
sedang diusahakan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri. Ini jelas
berbahaya. Serikat Buruh, misalnya, bisa saja dianggap berbahaya karena
mengganggu stabilitas ekonomi dan politik nasional karena melakukan demonstrasi
atau mogok kerja di kawasan industri. Begitu juga yang mungkin terjadi pada
kelompok penentang pembangunan yang sekarang gencar dilakukan oleh rezim.
Bagi pemerintah
sendiri, setidaknya yang dikatakan oleh Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang
Politik, Hukum, dan Keamanan, penerbitan Perppu ini
adalah atas dasar tidak memadainya aturan lama, yaitu Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 tentang Ormas. Aturan baru ini dibuat dengan penuansaan bahwa negara
sedang dalam kondisi gawat dan terancam oleh keberadaan ormas fundamental,
terutama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Padahal sebetulnya tidak demikian. HTI,
kalau dilihat secara kasat mata, tidak akan mampu untuk melakukan apa yang
dituduhkan (menggulingkan kekuasaan, mengganti Pancasila).
Beberapa orang yang
saya kenal (yang sebelum kasus ini cukup demokrat) setuju dengan Perppu ini
atas alasan urgensi tersebut. Bagi mereka, tak apa ruang demokrasi dipersempit
agar tidak ada tempat bergerak lagi bagi kelompok yang menginginkan
terbentuknya kekhalifahan di Indonesia. Anggapan ini bagi saya cukup konyol
karena untuk menggulingkan kekuasaan yang sah dibutuhkan kekuatan yang tidak
sedikit. Setidaknya dibutuhkan angkatan bersenjata yang berpihak pada mereka.
Ini jelas-jelas tidak dimiliki HTI. Atau kalaupun mau menggunakan koridor
demokrasi, yang dibutuhkan adalah memenangkan hati massa rakyat lewat pemilu.
Sementara yang kita tahu HTI menganggap sistem itu thagut.
Saya lebih menduga
bahwa HTI dijadikan sasaran pertama dari Perppu ini adalah karena mereka mulai
bisa mengambil hati massa rakyat. Seorang kawan dengan latar Nahdlatul Ulama (NU)
yang kuat bercerita bahwa bagaimana organisasi Islam terbesar di Indonesia itu
begitu gembira dengan kehadiran Perppu sebab mereka mulai “kalah bersaing”
dengan HTI dalam memperebutkan hati masyarakat, terutama di pedesaan. Semakin
banyak yang tertarik dengan gagasan-gagasan HTI yang kerap mempropagandakan
soal “kapitalisme”, “ketimpangan ekonomi” dan lain-lain.
Sementara NU, di satu sisi, dikatakan justru melanggengkan kemiskinan yang ada
dan tidak menjawab problem konkret umat. Meski memang HTI sendiri tidak
benar-benar memberikan jawaban yang konkret atas masalah yang konkret tersebut.
Mereka juga kerap mencampur adukkan antara “anti kapitalisme” dengan “anti
orang non-islam”.
Yang ingin saya katakan
adalah, tidak ada alasan logis dan materialis untuk mendukung aturan ini atas
dasar ketakutan yang saya nilai berlebihan tersebut.
Alih-alih ancaman fundamentalisme yang disebut ada
di depan mata, yang lebih masuk akal sebagai latar dikeluarkannya Perppu ini
adalah soal stabilitas nasional. Bagi saya Perppu ini tidak lain adalah alat
bagi pemerintah untuk mempersempit demokrasi demi memperlancar seluruh proyek
yang sedang mereka jalankan, termasuk infrastruktur dan pembangunan ekonomi.
Dua aspek ini hanya akan berlangsung ketika masyarakat menerima begitu saja
seluruh program yang ada, meski hal tersebut berarti pengusiran masyarakat dari
komunitas hidupnya. Sementara yang terjadi selama dua setengah tahun
pemerintahan Joko Widodo,
pembangunan yang ada sama sekali tidak melibatkan persetujuan masyarakat. Oleh
karenanya yang terjadi adalah protes dan perlawanan dimana-mana. Aturan ini
jadi senjata yang sangat ampuh untuk melumpuhkan protes-protes tersebut.
Kekerasan yang
dilakukan aparatus kekerasan juga akan semakin memiliki landasan hukum. Bukan
hal rahasia meski Indonesia telah memasuki era reformasi yang seharusnya menjunjung
tinggi supremasi sipil, peran tentara masih tetap sentral. Tentara tetap
menjadi organ paling efektif untuk memperlancar proyek-proyek pemerintah.
Dengan adanya Perppu ini pemerintah yang sebetulnya hanya akan bertahan paling
lama 10 tahun (pemilu dua kali) sedang memberikan karpet merah kepada tentara
untuk kembali berkuasa selama-lamanya tanpa perlu susah-payah mengupayakan
kembali dwifungsi dalam kehidupan politik.
Maka sekali lagi,
adalah hal yang konyol kalau menganggap aturan ini dibuat hanya untuk
mengamankan pemerintah dari gerakan fundamental bernafas islamis sementara di
sisi lain abai terhadap ancaman demokrasi dan dampak ekonomi politik secara
lebih luas. Selain itu, anggapan-anggapan bahwa meski ada Perppu ini pemerintah
tidak akan semena-mena membubarkan ormas jelas bersandar pada analisa moralis
dan hanya berharap pada kebaikan hati pembuat kebijakan. Sementara kita tahu,
cara kerja politik dan hukum bukanlah demikian. Semuanya dijalankan dengan asas
kepentingan. Semua aturan bisa ditabrak agar agenda pembangunan berjalan mulus,
apalagi kalau aturannya itu sendiri memang sudah menghasilkan prakondisi untuk
itu.
Mungkin memang, dengan
adanya aturan ini, bisa jadi HTI dan ormas yang dianggap subversif dibubarkan.
Tapi siapa bisa menjamin bahwa gagasan yang dianut mereka akan hilang begitu
saja? Bukti historis telah menunjukkan bahwa pelarangan terhadap organisasi
tertentu tidak serta merta membuat orang-orang yang sudah sepakat dengan
gagasannya berubah haluan. Organisasi ini, mereka yang ada di sana, tetap dapat
bergerak di bawah tanah, dan bisa kembali lagi di masa depan ketika situasi
politik sudah memungkinkan. PKI, misalnya, resmi dilarang oleh pemerintah
kolonial pasca memberontak di Jawa Barat dan Banten pada 1926–1927, tapi mereka
kemudian berdiri kembali dengan tegak pasca proklamasi, dan bahkan bisa
menduduki posisi keempat dalam Pemilu 1955 karena mampu memenangkan hati
rakyat. Pelarangan terhadap PKI dan ideologinya bahkan muncul lagi ketika Orde
Baru berkuasa sampai sekarang. Tapi apa kemudian gagasan marxisme hilang
bersama jutaan tulang belulang simpatisannya yang dibantai?
Apa yang bisa membuat
sebuah gagasan tidak diterima massa rakyat bukan dengan pelarangan, tetapi
dengan membuatnya tidak relevan. Agar ide soal kekhalifahan tidak mendapat
tempat di hati massa rakyat adalah bukan dengan memberangus organisasi
penganutnya, tetapi dengan menunjukkan secara ilmiah bahwa gagasan mereka soal
kesejahteraan di bawah lindungan kekhalifahan adalah ide yang usang. Pembeda
antara kita dan kelompok fundamentalis
Diterbitkannya Perppu
ini menghasilkan beragam reaksi, dimana yang menarik adalah ada satu helaan
nafas yang sama antara kelompok pro demokrasi dan mereka yang berada di kubu
fundamentalis/fasis. Lantas apa dengan begitu kita bisa bersekutu dengan
mereka? Jelas jawabannya tidak. Kepentingan pro demokrasi adalah mempertahankan
demokrasi itu sendiri (dan tentu saja memajukannya jadi demokrasi
partisipatoris, tidak sebatas prosedural!). Sementara kepentingan fundamentalis
adalah agar Perppu tersebut tidak membatasi gerakan mereka yang justru berniat
menghapus demokrasi dan kelompok di luar mereka. Kelompok pro demokrasi tidak
melawan Perppu karena Perppu itu sendiri. Konsekuensinya, yang harus juga
dilawan adalah semua bentuk aturan yang membelenggu kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat.
Di sini, kita sekaligus
menghindari perdebatan antara mana yang terlebih dulu harus dilawan, apakah
Perppu, ataukah fundamentalisme agama. Menolak Perppu salah satunya adalah
karena kita menolak fundamentalisme agama. Dan menolak fundamentalisme agama
artinya juga satu tarikan nafas dengan menolak Perppu.
Persoalan apakah dengan
menolak Perppu ini akan membuka peluang lebih besar bagi gerakan fundamentalis
untuk mengancam demokrasi kita, justru bagi saya di sanalah gerakan demokrasi
harus membuktikan bahwa diri mereka lebih benar. Bagaimanapun kemunculan
fundamentalisme adalah karena faktor-faktor yang sifatnya struktural, seperti
misalnya kemiskinan, ketimpangan kepemilikan, perang, dan lain-lain.
Gagasan-gagasan pro demokrasi soal kesetaraan politik dan ekonomi, keadilan
gender, kelestarian lingkungan, dan yang paling penting di atas itu semua tanpa
mempedulikan latar belakang agama atau ras, harus mendapat tempat di hati massa
rakyat. Di titik ini, sementara HTI telah secara masif mempropagandakan gagasan
mereka, sudah sampai manakah gerakan pro demokrasi dan keadilan sosial.